Oracle vs Google: Kekayaan Intelektual atau Kekuasaan?


Jakarta - Pertengahan Agustus lalu, tiba-tiba terjadi keributan di dunia Open Source. Dan lagi-lagi, ini soal lisensi. Masalah ini terbilang cukup besar karena digelontorkan oleh pemain besar, Oracle. Ya, Oracle menuntut Google atas Android.

Gambaran globalnya adalah Oracle menuntut Google karena dituduh telah melanggar hak atas kekayaan intelektual milik Java. Java adalah platform dengan hak paten yang sebelumnya dipegang oleh Sun Microsystems. Karena Sun Microsystems telah diakuisisi oleh Oracle pada Januari lalu, maka sekarang Java menjadi hak milik dan tanggung jawab Oracle.

Nah, dalam tuntutan Oracle yang disampaikan juru bicaranya Karen Tillman, Oracle menuding bahwa dalam pengembangan Android, Google telah secara langsung dan berulang kali melakukan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual. Pelanggaran yang dimaksud adalah Google disebut-sebut telah ‘mencuri’ ide dan kode dari Java untuk digunakan dalam Android yang sekarang sedang menjadi tren di pasar telepon pintar.

Ada enam paten yang digunakan oleh Oracle untuk menuntut Google, yaitu (1) proteksi domain dan akses control, (2) metode dan alat untuk proses dan packaging, (3) model proses dalam runtime, (4) referensi data dan kode, (5) fungsi dan cara pemanfaatan mesin, dan terakhir adalah (6) metode inisialisasi.

Pertanyaan yang muncul adalah ada apa sih sebenarnya? Mengapa Oracle ‘tiba-tiba’ menuntut Google ke pengadilan?

Jika ditilik, memang tidak ada yang baru dari kasus ini. James Gosling, bapak pembuat Java ini mengatakan ‘tidak ada yang mengejutkan’ ketika dimintai tanggapan tentang kasus ini.

Awalnya


Ini semua berawal saat Sun menjadikan Java sebagai open source pada tahun 2006 lalu untuk mengembangkan sayap dan membesarkan Java. Sejak saat itu, Java dikembangkan oleh para developer dan teknologi Java digunakan di berbagai perusahaan hingga pusat-pusat data. Salah satu perusahaan besar yang turut mengembangkan Java adalah Google. Dalam kolaborasinya dengan perusahaan lain yang juga menggunakan dan mengembangkan Java, Google kemudian menjadi bagian dari Java Community Process (JCP). JCP adalah sebuah badan yang bertugas membuat standar-standar untuk Java.

Setelah beberapa tahun berjalan, muncullah Java Micro Edition atau lebih dikenal dengan Java ME. Sama seperti sebelumnya, Sun juga membebaskan Java ME untuk para pengembang. Namun karena pasar yang bagus, Sun membujuk perusahaan besar yang ingin mengembangkan Java ME untuk membeli lisensi dan masing-masing perusahaan bebas untuk membuat produk apapun dari Java ME. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain adalah Nokia, Research In Motion (RIM), Motorola, LG, Samsung, Vodafone dan juga T-Mobile.

Melihat pasar ponsel pintar ke depan cukup bagus, Google tidak mau kalah sehingga pada tahun 2007 Google membeli Android dan mendirikan Open Handset Alliance bersama perusahaan besar lain seperti NVidia, Sony Ericsson, Samsung dan lain sebagainya untuk menaungi Android. Jalan yang ditempuh Google ini terbilang halus karena meskipun memanfaatkan teknologi Java, Google tidak berkewajiban untuk membayar lisensi atau berurusan dengan itu.

Mulai dari sinilah permasalahan timbul dan sejak saat itu Sun-Google berusaha membuat kesepakatan bersama namun tak juga mendapatkan jalan keluar walau berlangsung selama lebih dari 3 tahun.

Masalah Sebenarnya


Sebenarnya masalahnya bukanlah pada Android, melainkan pada Dalvik Virtual Machine (Dalvik). Dalvik adalah sebuah mesin virtual independen, baru dan dibuat khusus untuk Android. Dalvik ini adalah produk hasil ‘turunan’ dari Apache Harmony yang notabene berasal dari Java. Nah, meskipun Dalvik adalah mesin virtual yang sama sekali baru sekaligus berbeda dengan Java Virtual Machine, namun hampir sebagian besar (kalau tidak bisa dikatakan semuanya) library dalam Dalvik diambil dari Java.

Ini adalah jalan berbeda yang menguntungkan bagi Google, ditambah kelak Android menjadi sistem operasi telepon pintar yang mendunia dan hampir mengalahkan iOS. Hal ini pula yang membuat Sun sakit hati karena Android membuat produk hasil Java ME tidak laku. Keuntungan dari penjualan lisensi Java ME pun merosot.

Sayangnya, membawa perkara ke pengadilan untuk menang bukan sifat Sun. Sun adalah perusahaan yang memfokuskan diri pada pengembangan dan tidak (terlalu) berorientasi pada bisnis. Nah, ketika akhirnya Sun diakuisisi oleh Oracle, masalah inipun mendapatkan dukungan dan angin segar. Karena Oracle adalah perusahaan yang mementingkan bisnis maka Oracle mengangkat kembali isu ini dan dibawalah ke pengadilan.

Melihat dari sejarah, maka ada dua kemungkinan motif tuntutan Oracle atas Google. Pertama adalah menegakkan lisensi Java dan kedua adalah kekuasaan dan uang. Namun jika melihat dari sejarah dan perjalanan kasus ini, motif terakhir nampak lebih kuat ditambah latar belakang Oracle. Dengan kekuasaan Google atas Open Handset Alliance dan pesatnya penjualan atas Android, maka wajar jika akhirnya Oracle merasa iri dan menginginkan keduanya.

Selain itu, keluarnya James Gosling dan Jonathan Schwartz juga bisa jadi sebuah pertanda. Kedua sesepuh Sun ini memutuskan keluar dari Oracle sesaat setelah Sun dibeli. Dalam sebuah kesempatan, masing-masing juga mengakui saat proses negosiasi akusisi Oracle membicarakan tentang kasus ini.

Nah, andai kata Oracle berhasil memenangkan kasus ini maka mereka akan mendapatkan dua hal sekaligus yaitu kekuasaan dan uang. Siapa sih yang tidak menginginkan kedua hal tersebut?

0 comments:

Posting Komentar