Wajah Perfilman Indonesia

Terdengar serorang guru berpesan kepada muridnya seusai pelajaran sekolah berakhir pada suatu hari.
Sang guru berkata :
"Oke, pesan saya sebelum kalian pulang, hari-hati dijalan, langsung pulang kerumah, dan yang terpenting jangan nonton ind*siar!"


wew...kelihatan ada yang janggal ya?... tepat!!!
pesan terakhir memang kedengaran agak aneh.
kenapa sang murid dilarang nonton ind*siar????
apakah hanya sekedar wujud kekecewaan pribadi sang guru?
atau mungkin ada sesuatu yang bermakna dibalik pesan itu?
mari kita kaji lebih dalam.....

Ind*siar adalah sebuah stasiun televisi yang cukup terkenal di negara kita. Tentunya kesohorannya disebabkan karna kualitas tayangan yang dihasilkan stasiun televisi suasta tersebut.
Film merupakan nilai kaji yang utama dalam menilai kualitas tayangan stasiun tersebut.
Tapi apa yang kita lihat dalam film tersebut adalah sebuah kemunduran moral. Mengapa demikian?
Lantas apa bedanya dengan stasiun televisi swasta yang lain???

Sebelum lebih lanjut, coba kita lihat kriteria film yang baik.

Apakah film yang baik harus digemari atau disukai penonton?
Jawabnya simple, TIDAK!
Dari lima film unggulan terbaik Festival Film Indonesia, ternyata tidak banyak dikenal masyarakat. Film berjudul 3 Doa 3 Cinta, misalnya, bahkan belum diputar di bioskop. Padahal film ini adalah salah satu unggulan film terbaik FFI 2009.

Sementara Laskar Pelangi, film box office yang ditonton hampir empat juta orang tidak termasuk dalam film unggulan FFI karena memang tidak didaftarkan. Ini adalah bagian dari protes sang sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana terhadap kualitas FFI.

Di sisi lain, film box office lainnya, Ayat-ayat Cinta juga tak termasuk dalam film unggulan terbaik. Menurut dewan juri, kriteria film terbaik tidak harus selalu mengacu pada jumlah penonton atau kepopuleran film tersebut. "Saya perhatikan film-film lainnya banyak yang tak kalah menarik, tapi penjualan karcisnya tidak membludak," kata Ketua Dewan Juri FFI, Niniek L. Karim.

Film berkualitas baik memang tidak selalu identik dengan banyaknya jumlah penonton. Sutradara Garin Nugroho berkali-kali mengalaminya. Film Under The Tree garapannya menjadi film unggulan FFI. "Karena film saya 20 tahun nasibnya kayak Rudi Hartono, tidak pernah juara nasional, tapi menang terus juara internasional," kata pak Garin.

Bagaimana kriteria film yang baik itu?

Film itu harus memiliki proporsi hiburan dan isi yang seimbang. Tugas sutradara adalah menghitung detail berapa persentase renyah dan berapa persentase isi. Banyak produser yang berasumsi bahwa penonton Indonesia bodoh, sehingga hanya pantas disajikan hiburan renyah.

Film ibarat bola dunia, Anda melihat dari sisi sebelah sini belum tentu bisa melihat dari satunya lagi. Nah, agar dapat melihat film keseluruhan, diskusi adalah jalan terbaik supaya terbentuk wacana baru. Untuk itulah film disebut produk budaya dan dapat mengubah peradaban sebuah bangsa. Untuk menimbang baik buruknya sebuah karya film, tak bisa diterjemahkan hanya dari satu sisi. Banyak faktor yang mesti dicermati. Mengamati film seperti melihat bola dunia. Satu sisi terlihat, sisi lain boleh jadi tersembunyi.

Jadi, ada perbedaan antara film yang baik dengan film yang layak tonton?

Secara sinematografis, Ayat-ayat Cinta bukanlah film yang baik karena banyak sekali aspek yang hilang seperti ruang, geografis, serta konten. Tetapi, dari sudut penonton, film tersebut cukup dibanjiri penonton sehingga dapat saya katakan layak diapresiasi.

Saya melihat selama ini kita selalu terbentur dengan wacana pengkotakan film komersial dan film idealis. Padahal, menurut saya keduanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Komersial berada pada tataran marketing, sementara idealisme berada pada pada tataran otak. Sebagai contoh, Lord of the Ring dan Godfather merupakan film yang berhasil menggabungkan dua unsur tersebut, idealisme dan sukses menjadi box office. Tetapi, di Indonesia hanya hanya segelintir yang berhasil mengawinkan kedua unsur tersebut.

Dalam sebuah film tentunya ada unsur realistis atau kenyataan, misalnya ada saat dimana sang aktor utama harus bekerja, harus istirahat, harus makan seperti layaknya manusia pada umumnya. Film boleh berhayal, tentang kembalinya dinosurus, atau tentang petualangan luar angkasa. Tapi tetap saja kita tidak boleh melepaskan kodrat manusia untuk bekerja, istirahat, makan, dan lain-lain.

Inayah! sebuah judul sinetron dimana sang aktor (kanjeng doso) memiliki 4 orang istri dan harta yang sangat berlimpah, tapi sampai sekarang kita tidak pernah tau pasti apa pekerjaan utama sang romo tersebut.

Atau mungkin film lain, dimana sang aktor berwajah tampan, menunggang moge (motor gede), rumah serba gedong, kaya tanpa terlihat pernah bekerja, kerjaannya hanya mengejar-ngejar aktris yang juga cantik dan tidak kalah kaya, dan saat terlibat perkelahian tiba-tiba dapat berubah menjadi ular atau kekelawar raksasa...

WAKAKAKAKAKAKAA.... saya tertawa terpingkal-pingkal, mengalahkan tawa saat saya menonton film komedinya mr. bean.

Ini yang bodoh yang membuat alias sutradara, atau yang nonton ya???
kayak film anak-anak aja....

Coba kita berkaca kepada kehidupan bangsa ini sendiri?
apakah keseharian kita seperti itu? apakah kita sedang dididik untuk tidak bekerja tapi kaya raya?
apakah anda penonton yang bodoh?
sehingga mau disuguhi film-film tidak bermutu seperti itu?

Oke... berlanjut kepada stasiun televisi lainnya...
saat ini hampir semua stasiun televisi mulai marak dengan reality show...
yang hampir-hampir sangat jelas kalo semuanya rekayasa...

Mencari pasangan sudah sangat sulit saat ini sehingga harus diadakan acara "Take Me Out" dan "Take Him Out". dan jangan lupa.. acara Cari Ibu Tiri dan Cari Ayah Tiri juga wujud sakit hati yang diapresiasikan dalam sebuah reality yang sekali lagi rekayasa dan ternyata cukup menarik untuk dinikmati oleh pada penonton.

Sering juga televisi menayangkan reality show yang isinya hanya orang marah-marah terus, sering terlihat sang pemain hampir beradu fisik dengan crew atau pembawa acara. Kok marah-marah dipertontonkan. Efeknya.... yah jangan disalahkan kalau besok-besok terlihat anak-anak kita menirukan adegan tersebut. Seperti kasusnya WCW dulu. Sempat ditiru, ada yang cidera, baru dilarang tayang dibawah jam 23... bangsa yang aneh... pasif, takut untuk bertindak benar, atau takut dianggap sok berlebihan.

kalo gini sapa yang perlu disalahkan? Sutradara, aktornya, penontonya, pemerintah, atau badan sensor film?

kalo dah sampe sini agak repot... buat apa mencari yang salah kalo hukum kita aja gak bener.

sekedar saran, tolong ingatkan teman kita, anak kita, saudara kita, atau siapapun dimanapun kapanpun, untuk menjauhkan chenel televisi yang menayangkan tayangan seperti itu.

Jangan jadikan orang-orang disekitar kita menjadi penonton yang bodoh!

0 comments:

Posting Komentar